Powered By Blogger

Minggu, 25 Desember 2011

Mempertahankan Jiwa Kewirausahaan

Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang.

Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung.

Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor.

Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas.

Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas.

Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum tertentu untuk menciptakan konflik dan disintegrasi bangsa.

Maka, sudah semestinya jika seluruh elemen bangsa menyikapi persoalan pengangguran secara jernih, sembari memikirkan solusi jitu untuk mengatasinya.

Lebih dari itu dalam masyarakat ditumbuhkan semangat dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Jiwa dan semangat kewirausahaan ini, sangat urgen dalam menentukan kemajuan perekonomian suatu negara.

Bukan hanya ketepatan prediksi dan analisis yang tepat, tetapi juga merangsang terjadinya invensi dan inovasi penemuan-penemuan baru yang lebih efektif bagi pertumbuhan ekonomi.

Menurut Pinchot (1988), kewirausahaan atau entrepreneurship merupakan kemampuan untuk menginternalisasikan bakat rekayasa dan peluang yang ada. Seorang entrepreneur akan berani mengambil resiko, inovatif, kreatif, pantang menyerah, dan mampu menyiasati peluang secara tepat.

Sementara, Husaini Usman dalam bukunya Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan (2008), menyebut setidaknya dua cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan.

Pertama, pembiasaan dalam keluarga. Semenjak anak-anak masih keci, orangtua harus sudah memperkenalkan jiwa kewirausahaan. Misalnya, anak-anak diikutkan pada usaha kerajinan atau industri rumahtangga (home industry) yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Tentu saja, sebelumnya sudah disepakati jenis pekerjaan antara pemilik usaha dengan orangtua, sebatas yang terjangkau bagi anak-anak.

Tiap akhir minggu, mereka juga digaji sebagaimana pekerja lainnya, sekali pun tidak seberapa. Gaji itu tidak boleh digunakan untuk jajan, melainkan ditabung.

Cara ini dimaksudkan agar anak memiliki pengalaman bagaimana menjadi pekerja, sekaligus menanamkan pelajaran bagaimana menghargai hasil keringat sendiri — dengan cara menabung uang hasil kerjanya.

Lebih dari itu, dengan bekerja di home industry anak-anak memperoleh dua keuntungan; mereka memiliki pengalaman bekerja, menghayati dunia usaha dan sekaligus merasakan bagaimana hidup sebagai pekerja.

Sekali dalam sebulan, anak-anak ditugasi ke pasar. Mereka harus mencari informasi berbagai harga barang-barang di pasar, seperti harga gula, beras, berbagai macam sayur, peralatan rumah tangga dan lain-lain.

Anak-anak juga disuruh menanyakan satu persatu harga berbagai barang sekali pun tidak membelinya. Selanjutnya, hasil survai pasar tersebut dianalisis dan dijadikan bahan diskusi rutin tiap bulan di lingkungan keluarga.

Kegiatan ini dimaksudkan agar anak menjadi akrab dengan kehidupan nyata, mampu berkomunikasi dengan baik, mengemukakan pendapat, menarik kesimpulan, sekaligus membiasakan diri selalu mengikuti perkembangan ekonomi sehari-hari.
Pendidikan Kewirausahaan
Kedua, penanaman kewirausaan melalui pendidikan. Di sekolah/Perguruan Tinggi, perlu dimasukkan pelajaran atau mata kuliah kewirausahaan dengan proporsi lebih ketimbang pelajaran/mata kuliah lainnya—paling tidak seimbang. Pelajaran kewirausahaan itu, harus disajikan secara sistematis serta disesuaikan dengan tingkatan pendidikan dan usia peserta didik. Kemasan pelajaran juga harus menarik minat peserta didik, sehingga mereka merasa enjoy mempelajarinya, tidak ada paksaan dan belajar dalam kondisi gembira.

Sekali waktu, sekolah perlu mengundang para pelaku bisnis yang sukses. Mereka diminta menerangkan atau menceritakan perjalanan hidup mereka, dan bagaimana kiat-kiat agar usaha bisa sukses.

Kisah hidup itu, paling tidak akan merangsang anak untuk meniru atau meneladaninya. Jika memungkinkan, anak-anak juga diikutkan dalam kegiatan magang kerja di suatu usaha.

Tujuanya, selain memperkenalkan anak pada kondisi usaha riil, mereka juga bisa melihat langsung praksis dari teori-teori yang telah diperolehnya.

Pembelajaran kewirausaan, kata P Budi Santosa (2008), akan lebih efektif jika sekolah juga mendirikan usaha nyata. Misalnya, sekolah mendirikan gerai penjual makanan, simpan pinjam, jasa tiket transportasi, perbankan, kursus bahasa asing dan sebagainya.

Selanjutnya, anak didik secara bergantian mendapat tugas berpraksis di situ, dengan target-target yang telah ditentukan. Sebagaimana kegiatan magang, pendirian dunia usaha di sekolah itu bertujuan mengakrabkan anak didik antara teori dan praktik nyata.

Pada akhirnya, semangat dan jiwa kewirausaan merupakan pondasi ampuh bagi bangsa ini menghadapi krisis finansial global, maupun peningkatan angka pengangguran.

Tatkala pendidikan kewirausahaan — yang ditanamkan melalui keluarga dan pendidikan formal — telah berjalan efektif, sebesar apa pun krisis finansial akan disikapi dengan kepala dingin.

Itu karena masyarakat telah terbiasa memecahkan problem berat dengan strategi yang cepat dan tepat. Lebih dari itu, makin berat krisis justru makin mematangkan penguasaan masyarakat terhadap ilmu kewirausahaan yang telah dipelajarinya.


sumber : http://aguswibowo82.blogspot.com/2009/01/menumbuhkan-jiwa-kewirausahaan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar